Senin, 13 April 2009

Peran Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT) Sebagai Media Komunikasi dalam Pendidikan


Perkembangan teknologi komunikasi begitu cepat sehingga berdampak pada berbagai sendi kehidupan manusia. Dalam memasuki ere globalisasi sekarang ini, lembaga pendidikan mempunyai tanggung jawab membersiapkan dan menghasilkan sumberdaya manusia yang mampu menghadapi semua tantangan perubahan yang ada disekitarnya yang berjalan sangat cepat. Bahkan sebagai dampak globalisasi mengakibatkan terjadinya persaingan secara bebas dalam dunia pendidikan maupun tenaga kerja. Kondisi tersebut menuntut perlu adanya suatu sistem pendidikan yang bermutu yaitu sistem pendidikan yang mampu menyediakan sumberdaya manusia yang dapat bersaing dalam menghadapi persaingan global. Karena itu pendidikan perlu diarahkan agar mampu menyediakan sumberdaya manusia yang mampu menghadapi tantangan zaman secara efektif sejak usia sekolah dengan memanfaatkan kemajuan terknologi.
Pendidikan yang bermutu ditentukan oleh berbagai faktor. Secara teoritis menurut Purwadhi (2000) dan Nickerson (1985), salah satu unsur yang harus diperhatikan dalam mendesain proses pembelajaran yang efektiv, salah satunya adalah media pengajaran. Selain itu, proses pembelajaran juga merupakan bagian dari proses komunikasi. Dengan demikian efektivitas dan mutu pembelajaran atau pendidikan juga ditentukan oleh unsur-unsur komunikasi antaralain sumber, audience, media dan feed back.
Media komunikasi merupakan suatu alat dimana komunikator menggunakan nya untuk mengirim pesan kepada komunikan. Dalam pendidikan, media komunikasi biasanya disebut sebagai media pengajaran. Media komunikasi dalam pendidikan merupakan segala bentuk alat dan sumber belajar yang digunakan untuk membantu memperlancar proses belajar mengajar. Sumber belajar meliputi buku-buku, majalah, manusia, perpustakaan, labolatorium dan ICT seperti internet dan lain-lain. Media pendidikan digunakan untuk menyalurkan pesan atau isi pelajaran, merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan siswa (Nana Syaodih, 1996). Tanpa media pendidikan, efektifitas belajar maupun mutu pendidikan tidak akan tercapai, demikian pula dengan jika tersedia media pendidikan tetapi kita tidak memiliki kemampuan pemilihan media mana yang paling efektif dan efisien maka efektifitas pembelajaran pun tidak dapat tercapai.
Sementara itu, Winn (1996) menambahkan ada tiga peranan media dalam pendidikan, 1) media pembelajaran yang dalam hal ini berfungsi sebagai penyampaian pesan khusus, 2) sebagai pembentuk lingkaran perantara dimana media membantu siswa melakukan eksplorasi dan membentuk pemahaman suatu pengetahuan, dan 3) mengembangkan kemampuan kognitif, dinama media dipergunakan sebagai model atau perluasan mental kemampuan
Berbagai hasil penelitian menunjukan bahwa media yang paling efektif digunakan untuk mencapai mutu pendidikan dalam memasuki ere globalisasi sekarang ini adalah dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (ICT). ITC adalah istilah umum yang mengacu pada teknologi yang digunakan untuk mengumpulkan, mengedit, mendapatkan informasi dalam berbagai bentuk (SER, 1977dalam Nurdin Ibrahim).
Ada lima perspektif yang bisa dilihat dalam peranan ICT dalam perannya sebagai media pembelajaran (Clark, 1996 dalam Ebersole, 2000), yaitu: 1) media sebagai teknologi, 2) media sebagai alat atau tutor atau guru, 3) media sebagai agen sosialisasi, 4). Media sebagai motivator untuk belajar, dam 5) Media sebagai alat mental untuk berpikir dan memecahkan masalah.

Masalah-Masalah dalam Penerapan Teknologi Komunikasi dan Informasi (ICT).

Dampak positif teknologi terhadap dunia pendidikan sudah tidak diragukan lagi. Berbagai pendapat pakar dari berbagai disiplin ilmu sepakat bahwa kehadiran teknologi baru seperti internet dan lain-lain akan dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Namun perlu disadari bahwa kehadiran teknologi tersebut di sekolah juga menimbulkan masalah baru apabila sekolah tidak siap antara lain :
1) Sarana disekolah belum memadai
Tidak semua sekolah mempunyai sarana yang menjadi prasarat pemanfaatan teknologi tersebut. Kondisi tersebut, akhirnya sekolah tersebut menjadi enggan untuk menerapkan ICT di sekolahnya
2) Keterbatasan biaya dan tenaga operasional
Untuk bisa memanfaatkan ICT perlu adanya tenaga khusus yang mengelola media tersebut, karena tidak setiap guru mampu mengoprasikan media tersebut. Berbagai sekolah yang mempunyai kemampuan baik tenaga maupun biaya tidak menjadi masalah, tetapi bagi sekolah yang miskin dan tenaga guru pas-pasan, kondisi ini merupakan masalah baru yang sangat sulit mengatasinya. Keterbatasan tenaga operasional untuk melakukan penjadwalan, perawatan dan pengoperasioan ketika guru akan memanfaatkan media menjadi masalah. Akhirnya guru malas untuk memanfaatkan media tersebut.
3) Kepala sekolah dan guru kurang sadar akan pentingnya media pendidikan
Secara umum kondisi sekolah di Indonesia memang kesulitan untuk mencari tambahan biaya untuk kegiatan yang diluar kegiatan rutin. Pemanfaatan media pendidikan bagi sekolah kesannya hanya mahal dan menakutkan sehingga kalau sekolah tersebut pemimpinnya dan guru-gurunya kurang sadar pentingnya media pendidikan, akan semakin jauh dari harapan untuk memanfaatkan media pendidikan
4) Beban orang tua siswa lebih berat
Beberapa sekolah telah mempunyai kesadaran tentang pentingnya media. Namun seringkali untuk memenuhi media tersebut, salah satu sumber dana yang dilakukan sekolah adalah dengan membebankan kepada orang tua siswa. Tentu saja hal ini akan menjadi beban yang tida ringan bagi orang tua siswa.
5) Kondisi keamanan sekolah kurang memadai
Penerapan ICT akan lebih baik jika kondisi keamanan sekolah baik. Namun akan menjadi masalah jika menerapan ICT dilakukan pada sekolah yang kurang aman. Peluang terjadi kasus pencurian akan semakin tinggi disamping itu, pihak sekolah akan terbebani dengan adanya media ICT tersebut karena harus menjaga keamanan. Kalau keamanan saja tidak terjamin bagaimana mau bisa digunakan untuk meningkatkan mutu pendidikan/ pembelajaran.
6) Persepsi yang salah terhadap media pembelajaran
Alasan yang sering didengar, mengapa guru enggan memanfaatkan media pembelajaran karena dengan memanfaatkan media tersebut jam pelajaran siswa menjadi terganggu. Kondisi memang cukup memperihatinkan. Artinya persepsi guru terhadap media pembelajaran salah. Padahal seharusnya justru dengan bantuan media, materi yang disampaikan lebih jelas dan konpreherensif karena pemehaman siswa diharapkan hampir sama.
7) Guru merasa terbebani
Untuk bisa mengajar dengan memanfaatkan media, memang dituntut guru harus lebih kreatif serta persiapan pengajaran lebih matang. Sebelum menggajar menggunakan media, guru dirumah sudah harus mencobanyanya sehingga nantinya disekolah guru sudah terbiasa dan tidak canggung lagi. Untuk itu, guru perlu menyiapkan waktu, tenaga dan biaya agar bisa berjalan dengan baik. Namun kenyataan banyak guru yang beralasan tidak menggunakan media ICT karena tidak ada waktu atau biaya.

PENERAPAN MEDIA (TEKNOLOGI INFORMASI KOMUNIKASI)

Devi Ari Mariani,M.si

PENDAHULUAN

Dunia telah berubah. Dewasa ini kita hidup dalam era informasi/global. Dalam era informasi, kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi telah memungkinkan terjadinya pertukaran informasi yang cepat tanpa terhambat oleh batas ruang dan waktu (Dryden & Voss, 1999). Berbeda dengan era agraris dan industri, kemajuan suatu bangsa dalam era informasi sangat tergantung pada kemampuan masyarakatnya dalam memanfaatkan pengetahuan untuk meningkatkan produktifitas. Karakteristik masyarakat seperti ini dikenal dengan istilah masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society). Siapa yang menguasai pengetahuan maka ia akan mampu bersaing dalam era global.

Oleh karena itu, setiap negara berlomba untuk mengintegrasikan media, termasuk teknologi informasi dan komunikasi untuk semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegaranya untuk untuk membangun dan membudayakan masyarakat berbasis pengetahuan agar dapat bersaing dalam era global.

Bimbingan dan Konseling sebagai suatu proses pemberian bantuan kepada individu (siswa), dilaksanakan melalui berbagai macam layanan. Layanan tersebut saat ini, pada saat jaman semakin berkembang, tidak hanya dapat dilakukan dengan tatap muka secara langsung, tapi juga bisa dengan memanfaatkan media atau teknologi informasi yang ada. Tujuannya adalah tetap memberikan bimbingan dan konsling dengan cara-cara yang lebih menarik,interaktif, dan tidak terbatas tempat, tetapi juga tetap memperhatikan azas-azas dan kode etik dalam bimbingan dan konseling.

BIMBINGAN KONSELING

A. Pengertian Bimbingan dan Konseling

Bimbingan merupakan terjemahan dari guidance yang didalamnya terkandung beberapa makna. Sertzer & Stone (1966) menemukakan bahwa guidance berasal kata guide yang mempunyai arti to direct, pilot, manager, or steer (menunjukkan, menentukan, mengatur, atau mengemudikan). Sedangkan menurut W.S. Winkel (1981) mengemukakan bahwa guidance mempunyai hubungan dengan guiding : “ showing a way” (menunjukkan jalan), leading (memimpin), conducting (menuntun), giving instructions (memberikan petunjuk), regulating (mengatur), governing (mengarahkan) dan giving advice (memberikan nasehat).

Penggunaan istilah bimbingan seperti dikemukakan di atas tampaknya proses bimbingan lebih menekankan kepada peranan pihak pembimbing. Hal ini tentu saja tidak sesuai lagi dengan arah perkembangan dewasa ini, dimana pada saat ini klien lah yang justru dianggap lebih memiliki peranan penting dan aktif dalam proses pengambilan keputusan serta bertanggungjawab sepenuhnya terhadap keputusan yang diambilnya.

Untuk memahami lebih jauh tentang pengertian bimbingan, di bawah ini dikemukakan pendapat dari beberapa ahli :

v Miller (I. Djumhur dan Moh. Surya, 1975) mengartikan bimbingan sebagai proses bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimum di sekolah, keluarga dan masyarakat.

v Peters dan Shertzer (Sofyan S. Willis, 2004) mendefiniskan bimbingan sebagai : the process of helping the individual to understand himself and his world so that he can utilize his potentialities.

v United States Office of Education (Arifin, 2003) memberikan rumusan bimbingan sebagai kegiatan yang terorganisir untuk memberikan bantuan secara sistematis kepada peserta didik dalam membuat penyesuaian diri terhadap berbagai bentuk problema yang dihadapinya, misalnya problema kependidikan, jabatan, kesehatan, sosial dan pribadi. Dalam pelaksanaannya, bimbingan harus mengarahkan kegiatannya agar peserta didik mengetahui tentang diri pribadinya sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.

v Jones et.al. (Sofyan S. Willis, 2004) mengemukakan : “guidance is the help given by one person to another in making choice and adjusment and in solving problem.

v I. Djumhur dan Moh. Surya, (1975) berpendapat bahwa bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai kemampuan untuk dapat memahami dirinya (self understanding), kemampuan untuk menerima dirinya (self acceptance), kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction) dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya (self realization) sesuai dengan potensi atau kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat.

v Dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah dikemukakan bahwa “Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan”.

v Prayitno, dkk. (2003) mengemukakan bahwa bimbingan dan konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok agar mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan bimbingan karier, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang berlaku.

Dari beberapa pendapat di atas, tampaknya para ahli masih beragam dalam memberikan pengertian bimbingan, kendati demikian kita dapat melihat adanya benang merah, bahwa :

v Bimbingan merupakan upaya untuk memberikan bantuan kepada individu atau peserta didik.. Bantuan dimaksud adalah bantuan yang bersifat psikologis.

v Tercapainya penyesuaian diri, perkembangan optimal dan kemandirian merupakan tujuan yang ingin dicapai dari bimbingan.

Dari pendapat Prayitno, dkk. yang memberikan pengertian bimbingan disatukan dengan konseling merupakan pengertian formal dan menggambarkan penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang saat ini diterapkan dalam sistem pendidikan nasional.

Keberadaan layanan bimbingan dan konseling dalam sistem pendidikan di Indonesia dijalani melalui proses yang panjang, sejak kurang lebih 40 tahun yang lalu. Selama perjalanannya telah mengalami beberapa kali pergantian istilah, semula disebut Bimbingan dan Penyuluhan (dalam Kurikulum 84 dan sebelumnya), kemudian pada Kurikulum 1994 dan Kurikulum 2004 berganti nama menjadi Bimbingan dan Konseling. Akhir-akhir ini para ahli mulai meluncurkan sebutan Profesi Konseling, meski secara formal istilah ini belum digunakan.

B. Orientasi Baru Bimbingan dan Konseling

Pada masa sebelumnya (atau mungkin masa sekarang pun, dalam prakteknya masih ditemukan) bahwa penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling cenderung bersifat klinis-therapeutis atau menggunakan pendekatan kuratif, yakni hanya berupaya menangani para peserta didik yang bermasalah saja. Padahal kenyataan di sekolah jumlah peserta didik yang bermasalah atau berperilaku menyimpang mungkin hanya satu atau dua orang saja. Dari 100 orang peserta didik paling banyak 5 hingga 10 (5% - 10%). Selebihnya, peserta didik yang tidak memiliki masalah (90% -95%) kerapkali tidak tersentuh oleh layanan bimbingan dan konseling. Akibatnya, bimbingan dan konseling memiliki citra buruk dan sering dipersepsi keliru oleh peserta didik, guru bahkan kepala sekolah. Ada anggapan bimbingan dan konseling merupakan “polisi sekolah”, tempat menangkap, merazia, dan menghukum para peserta didik yang melakukan tindakan indisipliner. Anggapan lain yang keliru bahwa bimbingan dan konseling sebagai “keranjang sampah” tempat untuk menampung semua masalah peserta didik, seperti peserta didik yang bolos, terlambat SPP, berkelahi, bodoh, menentang guru dan sebagainya. Masalah-masalah kecil seperti itu dapat diantisipasi dan diatasi oleh para guru mata pelajaran atau wali kelas dan tidak perlu diselesaikan oleh guru pembimbing.

Mengingat keadaan seperti itu, kiranya perlu adanya orientasi baru bimbingan dan konseling yang bersifat pengembangan atau developmental dan pencegahan pendekatan preventif. Dalam hal ini, Sofyan. S. Willis (2004) mengemukakan landasan-landasan filosofis dari orientasi baru bimbingan dan konseling, yaitu :

1. Pedagogis; artinya menciptakan kondisi sekolah yang kondusif bagi perkembangan peserta didik dengan memperhatikan perbedaan individual diantara peserta didik.

2. Potensial, artinya setiap peserta didik adalah individu yang memiliki potensi untuk dikembangkan, sedangkan kelemahannya secara berangsur-angsur akan diatasinya sendiri.

3. Humanistik-religius, artinya pendekatan terhadap peserta didik haruslah manusiawi dengan landasan ketuhanan. peserta didik sebagai manusia dianggap sanggup mengembangkan diri dan potensinya.

4. Profesional, yaitu proses bimbingan dan konseling harus dilakukan secara profesional atas dasar filosofis, teoritis, yang berpengetahuan dan berketerampilan berbagi teknik bimbingan dan konseling.

Dengan adanya orientasi baru ini, bukan berarti upaya-upaya bimbingan dan konseling yang bersifat klinis ditiadakan, tetapi upaya pemberian layanan bimbingan dan konseling lebih dikedepankan dan diutamakan yang bersifat pengembangan dan pencegahan. Dengan demikian, kehadiran bimbingan dan konseling di sekolah akan dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh peserta didik, tidak hanya bagi peserta didik yang bermasalah saja.

C. Fungsi Bimbingan dan Konseling

Dengan orientasi baru Bimbingan dan konseling terdapat beberapa fungsi yang hendak dipenuhi melalui pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling. yaitu:

1. Pemahaman; menghasilkan pemahaman pihak-pihak tertentu untuk pengembangan dan pemacahan masalah peserta didik meliputi : (a) pemahaman diri dan kondisi peserta didik, orang tua, guru pembimbing; (2) lingkungan peserta didik termasuk di dalamnya lingkungan sekolah; dan keluarga peserta didik dan orang tua; lingkungan yang lebih luas, informasi pendidikan, jabatan/pekerjaan, dan sosial budaya/terutama nilai-nilai oleh peserta didik.

2. Pencegahan; menghasilkan tercegahnya atau terhindarnya peserta didik dari berbagai permasalahan yang timbul dan menghambat proses perkembangannya.

3. Pengentasan; menghasilkan terentaskannya atau teratasinya berbagai permasalahan yang dialami peserta didik.

4. Advokasi; menghasilkan kondisi pembelaaan terhadap pengingkaran atas hak-hak dan/atau kepentingan pendidikan.

5. Pemeliharaan dan pengembangan; terpelihara dan terkembangkannya berbagai potensi dan kondisi positif peserta didik dalam rangka perkembangan dirinya secara mantap dan berkelanjutan.

D. Prinsip-Prinsip Bimbingan dan Konseling :

Sejumlah prinsip mendasari gerak langkah penyelenggaraan kegiatan bimbingan dan konseling. Prinsip-prinsip ini berkaitan dengan tujuan, sasaran layanan, jenis layanan dan kegiatan pendukung, serta berbagai aspek operasionalisasi pelayanan bimbingan dan konseling. Prinsip-prinsip tersebut adalah :

1. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan sasaran layanan; (a) melayani semua individu tanpa memandang usia, jenis kelamin, suku, agama dan status sosial; (b) memperhatikan tahapan perkembangan; (c) perhatian adanya perbedaan individu dalam layanan.

2. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan permasalahan yang dialami individu; (a) menyangkut pengaruh kondisi mental maupun fisik individu terhadap penyesuaian pengaruh lingkungan, baik di rumah, sekolah dan masyarakat sekitar, (b) timbulnya masalah pada individu oleh karena adanya kesenjangan sosial, ekonomi dan budaya.

3. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan program pelayanan Bimbingan dan Konseling; (a) bimbingan dan konseling bagian integral dari pendidikan dan pengembangan individu, sehingga program bimbingan dan konseling diselaraskan dengan program pendidikan dan pengembangan diri peserta didik; (b) program bimbingan dan konseling harus fleksibel dan disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik maupun lingkungan; (c) program bimbingan dan konseling disusun dengan mempertimbangkan adanya tahap perkembangan individu; (d) program pelayanan bimbingan dan konseling perlu diadakan penilaian hasil layanan.

4. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan tujuan dan pelaksanaan pelayanan; (a) diarahkan untuk pengembangan individu yang akhirnya mampu secara mandiri membimbing diri sendiri; (b) pengambilan keputusan yang diambil oleh klien hendaknya atas kemauan diri sendiri; (c) permaslahan individu dilayani oleh tenaga ahli/profesional yang relevan dengan permasalahan individu; (d) perlu adanya kerja sama dengan personil sekolah dan orang tua dan bila perlu dengan pihak lain yang berkewenangan dengan permasalahan individu; dan (e) proses pelayanan bimbingan dan konseling melibatkan individu yang telah memperoleh hasil pengukuran dan penilaian layanan.

E. Asas-Asas Bimbingan dan Konseling

Penyelenggaraan layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling selain dimuati oleh fungsi dan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu, juga dituntut untuk memenuhi sejumlah asas bimbingan. Pemenuhan asas-asas bimbingan itu akan memperlancar pelaksanaan dan lebih menjamin keberhasilan layanan/kegiatan, sedangkan pengingkarannya akan dapat menghambat atau bahkan menggagalkan pelaksanaan, serta mengurangi atau mengaburkan hasil layanan/kegiatan bimbingan dan konseling itu sendiri.

Betapa pentingnya asas-asas bimbingan konseling ini sehingga dikatakan sebagai jiwa dan nafas dari seluruh kehidupan layanan bimbingan dan konseling. Apabila asas-asas ini tidak dijalankan dengan baik, maka penyelenggaraan bimbingan dan konseling akan berjalan tersendat-sendat atau bahkan terhenti sama sekali.

Asas- asas bimbingan dan konseling tersebut adalah :

1. Asas Kerahasiaan (confidential); yaitu asas yang menuntut dirahasiakannya segenap data dan keterangan peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui orang lain. Dalam hal ini, guru pembimbing (konselor) berkewajiban memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin,

2. Asas Kesukarelaan; yaitu asas yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan peserta didik (klien) mengikuti/ menjalani layanan/kegiatan yang diperuntukkan baginya. Guru Pembimbing (konselor) berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan seperti itu.

3. Asas Keterbukaan; yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan/kegiatan bersikap terbuka dan tidak berpura-pura, baik dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Guru pembimbing (konselor) berkewajiban mengembangkan keterbukaan peserta didik (klien). Agar peserta didik (klien) mau terbuka, guru pembimbing (konselor) terlebih dahulu bersikap terbuka dan tidak berpura-pura. Asas keterbukaan ini bertalian erat dengan asas kerahasiaan dan dan kekarelaan.

4. Asas Kegiatan; yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan dapat berpartisipasi aktif di dalam penyelenggaraan/kegiatan bimbingan. Guru Pembimbing (konselor) perlu mendorong dan memotivasi peserta didik untuk dapat aktif dalam setiap layanan/kegiatan yang diberikan kepadanya.

5. Asas Kemandirian; yaitu asas yang menunjukkan pada tujuan umum bimbingan dan konseling; yaitu peserta didik (klien) sebagai sasaran layanan/kegiatan bimbingan dan konseling diharapkan menjadi individu-individu yang mandiri, dengan ciri-ciri mengenal diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan, serta mewujudkan diri sendiri. Guru Pembimbing (konselor) hendaknya mampu mengarahkan segenap layanan bimbingan dan konseling bagi berkembangnya kemandirian peserta didik.

6. Asas Kekinian; yaitu asas yang menghendaki agar obyek sasaran layanan bimbingan dan konseling yakni permasalahan yang dihadapi peserta didik/klien dalam kondisi sekarang. Kondisi masa lampau dan masa depan dilihat sebagai dampak dan memiliki keterkaitan dengan apa yang ada dan diperbuat peserta didik (klien) pada saat sekarang.

7. Asas Kedinamisan; yaitu asas yang menghendaki agar isi layanan terhadap sasaran layanan (peserta didik/klien) hendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.

8. Asas Keterpaduan; yaitu asas yang menghendaki agar berbagai layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis dan terpadukan. Dalam hal ini, kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak yang terkait dengan bimbingan dan konseling menjadi amat penting dan harus dilaksanakan sebaik-baiknya.

9. Asas Kenormatifan; yaitu asas yang menghendaki agar segenap layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada norma-norma, baik norma agama, hukum, peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan kebiasaan – kebiasaan yang berlaku. Bahkan lebih jauh lagi, melalui segenap layanan/kegiatan bimbingan dan konseling ini harus dapat meningkatkan kemampuan peserta didik (klien) dalam memahami, menghayati dan mengamalkan norma-norma tersebut.

10. Asas Keahlian; yaitu asas yang menghendaki agar layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselnggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional. Dalam hal ini, para pelaksana layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling lainnya hendaknya tenaga yang benar-benar ahli dalam bimbingan dan konseling. Profesionalitas guru pembimbing (konselor) harus terwujud baik dalam penyelenggaraaan jenis-jenis layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling dan dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.

11. Asas Alih Tangan Kasus; yaitu asas yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan peserta didik (klien) kiranya dapat mengalih-tangankan kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing (konselor)dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau ahli lain. Demikian pula, sebaliknya guru pembimbing (konselor), dapat mengalih-tangankan kasus kepada pihak yang lebih kompeten, baik yang berada di dalam lembaga sekolah maupun di luar sekolah.

12. Asas Tut Wuri Handayani; yaitu asas yang menghendaki agar pelayanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan dapat menciptakan suasana mengayomi (memberikan rasa aman), mengembangkan keteladanan, dan memberikan rangsangan dan dorongan, serta kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik (klien) untuk maju.

MEDIA (TEKNOLOGI INFORMASI KOMUNIKASI)

A. Pengertian Media

Istilah media berasal dari bahasa latin, yaitu medium yang memiliki arti perantara. Dalam Dictionary of Education, disebutkan bahwa media adalah bentuk perantara dalam berbagai jenis kegiatan berkomunikasi. Sebagai perantara, maka media ini dapat berupa koran, radio, televisi bahkan komputer. Gagne (dalam Sadiman, dkk, 2002) menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar. Lebih lanjut, Briggs (dalam Sadiman, dkk, 2002) menyatakan bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar.
Definisi tersebut mengarahkan kita untuk menarik suatu simpulan bahwa media adalah segala jenis (benda) perantara yang dapat menyalurkan informasi dari sumber informasi kepada orang yang membutuhkan informasi.

Lebih lanjut, dalam proses pembelajaran dikenal pula istilah media pembelajaran. Suyitno (1997) menyatakan bahwa media pembelajaran adalah suatu peralatan baik berupa perangkat lunak maupun perangkat keras yang berfungsi sebagai belajar dan alat bantu mengajar. Sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran, maka media belajar ini akan disesuaikan dengan karakteristik masing-masing bahan ajar yang akan disajikan juga memperhatikan karakteristik siswa.

B. Jenis-Jenis Media

Saat ini, dengan cepatnya teknologi komunikasi maka semakin banyak pula media komunikasi yang muncul. Pada pembahasan ini, media komunikasi yang dimaksud adalah media untuk membantu pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah. Beberapa media yang dimaksud adalah komputer (internet), peralatan audio seperti tape recorder dan peralatan visual seperti VCD/DVD.

1. Komputer

Perkembangan perangkat komputer saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hampir setiap bulan muncul genre-genre baru dalam dunia komputer. Sebagai contoh adalah perkembangan prosessor sebagai otak dalam sebuah komputer mulai dari Intel Pentium 1 sampai dengan Pentium 4. Sebagian orang belum bisa menikmati kecanggihan Prosesor Pentium 4, saat ini sudah muncul Centrino bahkan Centrino Duo Core. Belum lagi sebagian orang berpikir kehebatan Centrino Duo Core, telah muncul pula AMD 690.

Pesatnya perkembangan teknologi komputer ini memang sebagai jawaban untuk akses data atau informasi. Perubahan di masyarakat yang semakin cepat pada akhirnya menuntut perkembangan teknologi komputer yang semakin canggih. Saat ini dibutuhkan akses data yang cepat, sehingga pada akhirnya prosesor yang ada juga semakin cepat

2. Peralatan Audio

Perkembangan peralatan audio saat ini juga mengalami perkembangan yang pesat. Peralatan audio yang di pergunakan dalam proses bimbingan dan konseling seperti tape recorder. Penggunaan tape recorder ini antara lain adalah untuk merekam sesi konseling dan memutar kembali hasil-hasil yang diperoleh selama sesi konseling.
Tape recorder membutuhkan kaset untuk bisa melakukan tindakan perekaman. Kaset memiliki pita magnetik yang berfungsi untuk menyimpan data atau informasi percakapan.

Saat ini telah berkembang alat perekam yang tidak membutuhkan pita perekam. Alat ini disebut MP3 dan MP4. Pada dasarnya alat ini berfungsi sebagai player, dimana di dalam alat ini terdapat sebuah mini harddisk yang memiliki kapasitas sampai dengan 4 Gb. Sebagai sebuah player, maka alat ini dapat memainkan musik dan dapat dipergunakan untuk merekam suara.

Ukuran MP3 dan MP4 saat ini amat kecil jika dibandingkan dengan sebuah mini tape recorder biasa. Seringkali kita jumpai, alat MP3 atau MP4 seukuran sebuah spidol atau ballpoint

3. Peralatan Visual

Alat visual dapat bermacam-macam ragamnya seperti video player dan VCD/DVD player. Pada awalnya, penggunaan peralatan visual adalah dengan mempergunakan projector. Penggunaan proyektor ini dipandang tidak efisien, karena dalam proses produksinya membutuhkan tahapan-tahapan yang panjang. Mulai dari merekam gambar sampai dengan menampilkan gambar. Bahkan seringkali dijumpai mutu gambar yang tidak bagus dan bahkan mudah rusak. Sehingga lambat laun peralatan ini mulai ditinggalkan.

Video player dulu merupakan peralatan yang lumayan banyak dipergunakan orang. Hanya saja, saat ini sudah banyak ditinggalkan karena proses produksinya tertalu berbelit. Untuk menghasilkan sebuah hasil rekaman yang baik, dibutuhkan kamera perekam yang lumayan besar dan berat, selain itu kaset yang dipergunakan juga relatif besar, sehingga dipandang tidak praktis. Terlebih, hasil rekaman seringkali tidak begitu jernih.

Peralatan visual yang sering kita jumpai antara lain adalah video player atau CD player. Peralatan ini banyak dijumpai karena memiliki tingkat pengoperasian yang mudah dan memiliki harga yang relatif murah. Penggunaan video player ini tidak akan bisa lepas dari keberadaan sebuah disc atau keping VCD/DVD. Dengan kecanggihan teknologi yang ada saat ini, proses perekaman gambar tidak perlu mempergunakan perangkat yang bermacam-macam. Saat ini telah berkembang alat perekam (handycam) yang secara langsung dapat merekam gambar langsung ke dalam keping VCD/DVD. Dengan kata lain, pengoperasian VCD/DVD ke player akan semakin mudah.

Perkembangan teknologi informasi saat ini, pada akhirnya bertujuan untuk memudahkan konsumen menikmati hiburan antau informasi dengan efisien. Hal ini pada akhirnya memunculkan perangkat-perangkat multi media. Teknologi multi media yang berkembang saat ini sudah demikian canggihnya, sehingga sehingga seringkali konsumen bingun untuk memilih teknologi apa yang akan dibeli.
Saat ini peralatan komputer yang dijumpai di pasaran pun sudah mempergunakan teknologi multi media. Dulu, komputer hanya dipergunakan sebagai alat pengolah data saja. Tetapi selanjutnya berkembang juga sebagai alat entertainment. Komputer saat ini hampir bisa dipergunakan untuk membantu segala macam permasalahan manusia, mulai dari mengolah data sampai dengan memproduksi sebuah tayangan video yang baik.

C. MANFAAT PENGGUNAAN MEDIA DALAM KONSELING

Tidak dapat disangkal bahwa saat ini kita hidup dalam dunia teknologi. Hampir seluruh sisi kehidupan kita bergantung pada kecanggihan teknologi, terutama teknologi komunikasi. Bahkan, menurut Pelling (2002) ketergantungan kepada teknologi ini tidak saja di kantor, tetapi sampai di rumah-rumah.
Konseling sebagai usaha bantuan kepada siswa, saat ini telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat cepat. Perubahan ini dapat ditemukan pada bagaimana teori-teori konseling muncul sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau bagaimana media teknologi bersinggungan dengan konseling. Media dalam konseling antara lain adalah komputer dan perangkat audio visual.

Komputer merupakan salah satu media yang dapat dipergunakan oleh konselor dalam proses konseling. Pelling (2002) menyatakan bahwa penggunaan komputer (internet) dapat dipergunakan untuk membantu siswa dalam proses pilihan karir sampai pada tahap pengambilan keputusan pilihan karir. Hal ini sangat memungkinkan, karena dengan membuka internet, maka siswa akan dapat melihat banyak informasi atau data yang dibutuhkan untuk menentukan pilihan studi lanjut atau pilihan karirnya.

Data-data yang didapat melalui internet, dapat dianggap sebagai data yang dapat dipertanggungjawabkan dan masuk akal (Pearson, dalam Pelling 2002; Hohenshill, 2000). Data atau informasi yang didapat melalui internet adalah data-data yang sudah memiliki tingkat validitas tinggi. Hal ini sangat beralasan, karena data yang ada di internet dapat dibaca oleh semua orang di muka bumi. Sehingga kecil kemungkinan jika data yang dimasukkan berupa data-data sampah.
Sebagai contoh, saat ini dapat kita lihat di internet tentang profil sebuah perguruan tinggi. Bahkan, informasi yang didapat tidak sebatas pada perguruan tinggi saja, tetapi bisa sampai masing-masing program studi dan bahkan sampai pada kurikulum yang dipergunakan oleh masing-masing program studi. Data-data yang didapat oleh siswa pada akhirnya menjadi suatu dasar pilihan yang dapat dipertanggungjawabkan. Tentu saja, pendampingan konselor sekolah dalam hal ini sangat diperlukan.
Sampsons (2000) mengungkapkan bahwa fasilitas di internet dapat dapat dipergunakan untuk melakukan testing bagi siswa. Tentu saja hal ini harus didasari pada kebutuhan siswa. Penggunaan komputer di kelas sebagai media bimbingan dan konseling akan memiliki beberapa keuntungan seperti yang dinyatakan oleh Baggerly sebagai berikut:

  1. Akan meningkatkan kreativitas, meningkatkan keingintahuan dan memberikan variasi pengajaran, sehingga kelas akan menjadi lebih menarik;
  2. Akan meningkatkan kunjungan ke web site, terutama yang berhubungan dengan kebutuhan siswa;
  3. Konselor akan memiliki pandangan yang baik dan bijaksana terhadap materi yang diberikan;
  4. Akan memunculkan respon yang positif terhadap penggunaan email;
  5. Tidak akan memunculkan kebosanan;
  6. Dapat ditemukan silabus, kurikulum dan lain sebagainya melalui website; dan
  7. Terdapat pengaturan yang baik

Selain penggunaan internet seperti yang telah diuraikan di atas, dapat dipergunakan pula software seperti microsoft power point. Software ini dapat membantu konselor dalam menyambaikan bahan bimbingan secara lebih interaktif. Konselor dituntut untuk dapat menyajikan bahan layanan dengan mempergunakan imajinasinya agar bahan layanannya tidak membosankan.

Program software power point memberikan kesempatan bagi konselor untuk memberikan sentuhan-sentuhan seni dalam bahan layanan informasi. Melalui program ini, yang ditayangkan tidak saja berupa tulisan-tulisan yang mungkin sangat membosankan, tetapi dapat juga ditampilkan gambar-gambar dan suara-suara yang menarik yang tersedia dalam program power point. Melalui fasilitas ini, konselor dapat pula memasukkan gambar-gambar di luar fasilitas power point, sehingga sasaran yang akan dicapai menjadi lebih optimal.

Gambar-gambar yang disajikan melalui program power point tidak statis seperti yang terdapat pada Over Head Projector (OHP). Konselor dapat memasukkan gambar-gambar yang bergerak, bahkan konselor bisa melakukan insert gambar-gambar yang ada di sebuah film.

Media lain yang dapat dipergunakan dalam proses bimbingan dan konseling di kelas antara lain adalah VCD/DVD player. Peralatan ini seringkali dipergunakan oleh konselor untuk menunjukkan perilaku-perilaku tertentu. Perilaku-perilaku yang tampak pada tayangan tersebut dipergunakan oleh konselor untuk merubah perilaku klien yang tidak diinginkan (Alssid & Hitchinson, 1977; Ivey, 1971, dalam Baggerly 2002). Dalam proses pendidikan konselor pun, penggunaan video modeling ini juga dipergunakan untuk meningkatkan keterampilan dan prinsip konseling yang akan dikembangkan bagi calon konselor (Koch & Dollarhide, 2000, dalam Baggerly, 2002).

Sebelum VCD/DVD player ini ditayangkan, seorang konselor sebaiknya memberikan arahan terlebih dahulu kepada siswa tentang alasan ditayangkannya sebuah film. Hal ini sangat penting, sebab dengan memiliki gambaran dan tujuan film tersebut ditayangkan, maka siswa akan memiliki kerangka berpikir yang sama. Setelah film selesai ditayangkan, maka konselor meminta siswa untuk memberikan tanggapan terhadap apa yang telah mereka lihat. Tanggapan-tanggapan ini pada akhirnya akan mempengaruhi bagaimana klien berpikir dan bersikap, yang kemudian diharapkan akan dapat merubah perilaku klien atau siswa.

D. Kerugian Penggunaan Media dalam Konseling

Pelling (2002) menyatakan bahwa, walaupun saat ini masyarakat sangat tergantung pada teknologi, tetapi di lain pihak, masih banyak diantara kita yang mengalami ketakutan untuk mempergunakan teknologi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar masyarakat kita masih percaya bahwa pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh orang tua atau orang yang dituakan masih dianggap lebih baik. Hal ini tidak lepas dari budaya paternalistik yang melingkupi masyarakat kita.

Sebaik apapun teknologi yang berkembang, tetapi jika pola pikir masyarakat masih terkungkung dengan nilai-nilai yang diyakini benar, maka data atau informasi yang didapat seakan-akan menjadi tidak berguna. Sebagai contoh, seorang siswa akan memilih jurusan di perguruan tinggi. Mungkin mereka akan mencari informasi sebanyak mungkin, dan konselor akan memfasilitasi keinginan mereka. Tetapi, pada saat mereka dihadapkan untuk menentukan dan memilih jurusan yang akan diambil, maka tidak jarang dari mereka akan berkata, “Saya senang dengan jurusan A, tetapi nanti tergantung pada orang tua saya”.

Contoh lain, saat ini perkembangan teknologi sudah berkembang dengan demikian pesat. Tiap manusia dapat berkomunikasi tanpa dibatasi rentang ruang dan waktu. Tetapi dalam budaya tertentu, alat komunikasi ini bisa menjadi “tidak bermanfaat”. Restu orang tua merupakan hal yang dianggap sakral oleh sebagian budaya tertentu, bahkan meminta restu ini akan lebih afdol jika dilakukan dengan melakukan sungkem. Untuk menunjukkan perilaku ini, maka seringkali mereka melupakan kecanggihan piranti komunikasi yang sudah canggih, walau jarak yang ditempuh untuk mendatangi orang tua relatif jauh.

Hal lain yang terkait dengan penggunaan media dalam bimbingan dan konseling adalah sasaran pengguna seringkali disamakan. Walaupun ragam media sudah bermacam-macam, tetapi media ini seringkali masih belum bisa menyentuh sisi afektif seseorang. Dalam bimbingan dan konseling dikenal istilah empati. Penggunaan media, seringkali pula akan “menghilangkan” empati konselor, jika konselor mempergunakan media sebagai alat bantu utama.

Klien datang ke ruang konseling tidak selalu membutuhkan informasi dari internet atau komputer, bahkan ada kemungkinan klien atau siswa datang ke ruang konseling juga tidak membutuhkan bantuan dari konselor secara langsung melalui proses konseling. Tetapi adakalanya, siswa atau klien datang ke ruang konseling hanya ingin mendapatkan senyuman dari konselor atau penerimaan tanpa syarat dari konselor.

Sebagai benda mati, peralatan teknologi yang ada saat ini hanya bisa bermanfaat jika dimanfaatkan oleh mereka yang memahami penggunaan masing-masing alat tersebut. Artinya penggunaan teknologi ini akan memunculkan efek yang baik jika dijalankan oleh mereka yang paham peralatan tersebut. Sebaliknya, peralatan ini akan memberikan dampak negatif jika pelaksananya tidak memahami dampak yang akan ditimbulkan. Banyak contoh kasus dampak negatif penyalahgunaan teknologi informasi seperti beredarnya rekaman video porno di ponsel, beredarnya video porno bajakan yang dilakukan oleh anak negeri dan lain sebagainya.

KESIMPULAN

  1. Media bimbingan dan konseling saat ini telah berkembang dengan pesat sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan manusia yang semakin meningkat;
  2. Media bimbingan dan konseling seperti internet akan menyediakan data atau informasi yang akurat bagi siswa;
  3. Hubungan konseling memerlukan empati, sehingga penggunaan media sebaiknya
  4. terbatas pada usaha perolehan data dan informasi saja;
  5. Untuk mempergunakan media bimbingan dan konseling perlu diperhatikan budaya yang dimiliki oleh siswa, sehingga pemilihan media bimbingan dan konseling akan efektif;
  6. Perlu pelatihan atau peningkatan kompetensi konselor dalam menguasai teknologi informasi;

DAFTAR PUSTAKA

Baggerly, Jennifer. 2002. Practical Technological Applications to Promote Pedagogical Principles and Active Learning in Counselor Education. Journal of Technology in Counseling. Vol. 2_2.

Dryden, Gordon; dan Voss, Jeanette; (1999), ”the Learning Revolution: to Change the Way the World Learn”, the Learning Web, Torrence, USA, http://www.thelearningweb.net.

Hartono., Soedarmadji, Boy. 2005. Psikologi Konseling. Surabaya: University Press UNIPA Surabaya.

Hohenshill, Thomas, H. 2000. High Tech Counseling. Journal of Counseling and Development. V 78: 365-368.

Menanti, Asih. 2005. Konseling Indigenous. Makalah disampaikan pada Konvensi Nasional ABKIN di Bandung 2005.

Pelling, Nadine. 2002. The Use Technology In Career Counseling. Journal of Technology in Counseling. Vol. 2_2.

Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdiknas.

———-, dkk. 2004. Panduan Kegiatan Pengawasan Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Rineka Cipta.

Sadiman, Arief. Dkk. 2002. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta: Rajawali Press.

Sampson, James, P. 2000. Using the Internet to Enchance Testing in Counseling. Journal of Counseling and Development. V 78: 348-356.

Suyitno, Imam. 1997. Pemanfaatan Media dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA). Jurnal Sumber Belajar: Kajian Teori dan Aplikasi. 4 Nopember 1997.

PenerapanTeknologi Informasi Dalam Dunia Pendidikan

Perkembangan teknologi informasi dapat meningkatkan kinerja dan memungkinkan berbagai kegiatan dapat dilaksanakan dengan cepat, tepat dan akurat, sehingga akhirnya akan meningkatkan produktivitas. Perkembangan teknologi informasi memperlihatkan bermunculannya berbagai jenis kegiatan yang berbasis pada teknologi ini. Keadaan seperti ini dikenal dengan e-life, artinya kehidupan yang sudah dipengaruhi oleh berbagai kebutuhan elektronik. Pemanfaatan teknologi informasi juga telah merambah dalam bidang pendidikan. Teknologi ini sangat pantas digunakan dalam lingkungan akademis karena dapat memberikan berbagai bantuan yang sangat bermanfaat dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Fungsi dari teknologi informasi untuk pendidikan adalah untuk menjamin kualitas pendidikan di Indonesia. Pemanfaatan teknologi informasi dalam proses pendidikan, dengan sasaran yang secara cermat dipilih, bahan ajar yang berkualitas, serta metodologi pengajaran yang tepat, akan mampu mendukung proses pemerataan dan mengurangi kesenjangan antar daerah. Pencapaian tujuan ini mampu mendukung proses pemerataan dan mengurangi kesenjangan antar daerah.

Kata kunci: Internet, mutu pendidikan, teknologi informasi, world wide web, e-learning

PENDAHULUAN
Sebenarnya permasalahan inti pada dunia pendidikan sangat komplek Berbagai hal dapat saja dipersalahkan sebagai pokok masalah yang menghambat kemajuan dunia pendidikan di Indonesia. Namun demikian, kecacatan yang dengan jelas dapat kita temukan adalah proses belajar mengajar yang masih menggunakan sistem konvensional yang mengandalkan tatap muka antara guru dan murid, dosen dengan mahasiswa, pelatih dengan peserta latihan, bagaimanapun merupakan sasaran empuk yang paling mudah menjadi sasaran bagi suara-suara kritis yang menghendaki peningkatan kualitas pada dunia pendidikan. Sehingga diperlukan solusi yang tepat dan cepat dalam mengatasi berbagai masalah yang berkaitan dengan mutu pendidikan sekarang.

Pada dasarnya atmosfer pembelajaran merupakan hasil sinergi dari tiga komponen pembelajaran utama, yakni siswa, kompetensi guru, dan fasilitas pembelajaran. Ketiga prasyarat tersebut pada akhirnya bermuara pada area proses dan model pembelajaran. Model pembelajaran yang efektif antara lain memiliki nilai relevansi dengan pencapaian tujuan pembelajaran dan memberi peluang untuk bangkitnya kreativitas guru. Kemudian berpotensi mengembangkan suasana belajar mandiri selain dapat menarik perhatian siswa dan sejauh mungkin memanfaatkan momentum kemajuan teknologi khususnya dengan mengoptimalkan fungsi teknologi informasi.

Seiring perkembangan zaman, penggunaan sistem konvensional sudah tidak efektif sebab dianggap sangat lambat dan tidak seiring dengan perkembangan teknologi informasi dimana pertukaran informasi menjadi semakin cepat dan instan. Sehingga ketidakefektifan adalah kata yang paling cocok untuk sistem ini. Sistem konvensional seharusnya sudah ditinggalkan sejak ditemukannya media komunikasi multimedia sebagai bentuk kemajuan teknologi informasi. e-Education, istilah ini mungkin masih asing bagi bangsa Indonesia. e-education (Electronic Education) ialah istilah penggunaan teknologi informasi di bidang pendidikan.

Teknologi Informasi adalah suatu teknologi yang digunakan untuk mengolah data, termasuk memproses, mendapatkan, menyusun, menyimpan, memanipulasi data dalam berbagai cara untuk menghasilkan informasi yang berkualitas, yaitu informasi yang relevan, akurat, tepat waktu dan merupakan informasi yang strategis untuk pengambilan keputusan. Teknologi ini menggunakan seperangkat komputer untuk mengolah data, sistem jaringan untuk menghubungkan satu komputer dengan komputer yang lainnya sesuai dengan kebutuhan, dan teknologi telekomunikasi digunakan agar data dapat disebar dan diakses secara global.

Banyak aspek dapat diajukan untuk dijadikan alasan untuk mendukung pengembangan dan penerapan teknologi informasi untuk pendidikan dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas pendidikan nasional Indonesia. Salah satu aspeknya ialah kondisi geografis Indonesia dengan banyak pulau yang terpencar-pencar dan kontur permukaan buminya yang seringkali tidak bersahabat. Teknologi informasi sangat mampu dan dijagokan agar menjadi fasilitator utama untuk meningkatkan dan meratakan pendidikan di bumi Nusantara, sebab teknologi informasi yang mengandalkan kemampuan pembelajaran jarak jauhnya tidak terpisah oleh ruang, jarak dan waktu sehingga semua yang diperlukan akan dapat disediakan secara online sehingga dapat diakses kapan saja.

Kemudahan itu merupakan salah satu manfaat yang didapatkan dari globalisasi yang melibatkan integrasi di berbagai bidang di antarannya pendidikan dan teknologi. Sumbangsih pemikiran dari dunia pendidikan telah melahirkan modernisasi di segala bidang kehidupan masyarakat dunia saat ini. Berhubungan dengan hal itu, kehadiran teknologi telah meningkatkan kualitas dan keampuhan pendidikan itu sendiri. sebagaimana empat pilar pendidikan yang di cetuskan oleh Unesco antara lain learning to know, learning to do, learning to be, dan learning together.

Beberapa penerapan teknologi informasi yang mungkin digunakan di sekolah diantaranya adalah : Jaringan Komputer Lokal (Local Area Network), Koneksi ke Internet, Laboratorium Komputer, Sistem Informasi yang berkaitan dengan kegiatan sekolah seperti Perpustakaan, Data Siswa, Bahan Pelajaran, dan lain-lain.

penelitian teknologi informasi dan komunikasi

by Romi Satria Wahono

Sejak akhir tahun 2005, kebetulan saya diminta membantu Kementrian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) dalam kegiatan pembuatan buku putih penelitian dan pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di Indonesia. Sebenarnya kegiatan KNRT untuk pembuatan buku putih tidak hanya dalam bidang TIK, tetapi juga beberapa bidang lain yang disebut dengan 6 bidang prioritas pembangunan Iptek 2005-2025, yang terdiri dari:

  1. Teknologi Ketahanan Pangan dan Pertanian
  2. Teknologi Energi: Energi Alternatif dan Terbarukan
  3. Teknologi Transportasi
  4. Teknologi Informasi dan Komunikasi
  5. Teknologi Kesehatan dan Obat-Obatan
  6. Teknologi Pertahanan

ict4.jpgDan pada tanggal 26 Juli 2006 diadakan acara penyempurnaan draft final buku putih untuk ke 6 bidang diatas, dimana Menristek (pak Kusmayanto Kadiman) dalam keynote speechnya memaparkan beberapa panduan dan filosofi kenapa buku putih harus ada. Tentu dalam tulisan ini saya tidak akan mengupas isi buku putih ke 5 bidang lain selain TIK, karena tugas saya memang hanya di buku putih TIK. Ada satu catatan menarik bahwa sedikit perdebatan hangat terjadi pada pertemuan tanggal 26 Juli 2006, khususnya tentang posisi buku putih ini sendiri. Pak Kusmayanto menyebut bahwa muara kerangka pikir buku putih berasal dari Jakstranas Iptek 2005-2009 dan Agenda Riset Nasional (ARN) . Sedangkan pemikiran rekan-rekan penyusun ARN, bahwa justru ARN yang seharusnya disusun berdasarkan Buku Putih, karena lingkup tahun buku putih yang lebih panjang yaitu 2005-2025. Well, kedua pemikiran ini berlandaskan pada dokumen yang resmi, meskipun saya sendiri kurang jelas, mana madzab yang lebih shohih ;)

Penyusunan buku putih yang lengkapnya bernama “Buku Putih Penelitian Pengembangan dan Penerapan Iptek Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi tahun 2005-2025”, sempat tertatih-tatih dan mengalami beberapa pergantian tim nara sumber. Saya mengikuti beberapa pertemuan yang diadakan di Jakarta akhir tahun 2005 dan kemudian camp selama 2 hari di Bandung di awal tahun 2006. Tim yang terdiri dari 22 orang, cukup lengkap dan berimbang karena ada wakil dari KNRT (pak Engkos Koswara dan pak Richard Mengko), LIPI (pak Tigor Nauli, pak Handoko, pak Mashuri dan saya sendiri), Depkominfo (pak Ashwin Sasongko dan pak Hadwi Sanjoyo), BPPT (pak Sulistyo dan pak Hary Budiarto), dari Universitas ada pak Abdullah Alkaf (ITS), ada juga wakil dari BATAN, LAPAN, dan yang menarik diundang juga beberapa wakil vendor misalnya pak Harry Kaligis (Sun Microsystems) dan pak Goenawan Lukito (Oracle). Saya secara pribadi juga ingin memberi applaus khusus kepada pak Agus Sediadi, pak Sabartua Tampubolon, pak Kemal Prihatman dan teman-teman di KNRT yang bekerja secara underground menyusun dan mengedit narasi sehingga berbentuk draft yang matang.

ictresearch.jpgTentu dalam pembahasan terjadi tarik ulur dan diskusi hangat, yang saya pikir terjadi karena pengaruh beragamnya latar belakang bidang pendidikan, core competence dan institusi tempat kerja. Pengaruh lain adalah seperti saya duga di awal, sangat sulit membuat grand design penelitian sampai 25 tahun ke depan untuk bidang yang sangat (terlalu) cepat berkembang seperti TIK. Sampai detik inipun saya belum yakin 100% bahwa poin-poin yang disusun sudah menggambarkan peta penelitian yang sebaiknya dilakukan sampai 2025 di Indonesia. Saya pikir sifat buku putih ini lebih dinamis dan memungkinkan terjadinya revisi ketika kebutuhan dan teknologi berkembang di luar lingkup yang dibahas di buku putih. Draft awal pada pertemuan di Jakarta diperbaiki secara menyeluruh dengan mengubah format dan poin-poin utama pembahasan pada pertemuan (camp) 2 hari di Bandung.

Saya mencatat hal menarik dari buku putih TIK ini, yang pertama bahwa hasil penelitian TIK di Indonesia diharapkan mampu berperan dalam:

  1. Meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat
  2. Meningkatkan daya saing bangsa
  3. Memperkuat persatuan dan kesatuan nasional
  4. Mewujudkan pemerintahan yang transparan
  5. Meningkatkan jati diri bangsa di tingkat internasional

Dapat kita simpulkan bahwa para peneliti bidang TIK diharapkan lebih melihat user needs (kebutuhan pengguna atau stakeholder), lebih membumi dan memprioritaskan penelitian ke arah mencari solusi kebutuhan riil masyarakat. Tentu peneliti bidang TIK akan semakin sibuk karena disamping harus memilih tema penelitian yang siap terap untuk masyarakat, juga unggul dan dapat bersaing secara internasional, dan apabila diperlukan dapat membantu mewujudkan sistem pemerintahan yang bersih.

Bahasa lainnya, penelitian yang dilakukan harus menjawab kepentingan beberapa stakeholder, yaitu:

  1. Masyarakat dan publik, untuk menuju masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based society) dan layanan elektronik (eServices)
  2. Pemerintah, untuk menuju eGovernment
  3. Industri, untuk menuju industri TIK yang global dan berdaya saing
  4. Lembaga Iptek, untuk menuju lembaga Iptek kelas dunia

Kemudian apa prioritas tema penelitian TIK yang direkomendasikan dalam buku putih tersebut? Ada 5 prioritas utama yang masing-masing memiliki bidang garapan seperti di bawah:

  1. Infrastruktur Informasi: jaringan informasi dan telekomunikasi, information exchange, digital broadcasting, perangkat keras komputer dan device pendukungnya, community access point
  2. Perangkat Lunak: sistem operasi, sistem aplikasi, bahasa pemrograman dan development tool, opensource, simulasi dan komputasi
  3. Kandungan (Content) Informasi: respositori dan information sharing, creative digital, data security, eServices
  4. Pengembangan SDM dan Kelembagaan: edukasi dan research center, sertifikasi dan kurikulum TIK, pengembangan software house lokal, inkubator bisnis dan competence center, pengembangan ICT park
  5. Regulasi dan Standardisasi: regulasi konvergensi TIK, pengembangan sistem insentif, standardisasi peralatan TIK, universal service obligation (USO)

Informasi lengkap masing-masing tema dapat didownload langsung dari draft buku putih yang ada di situs KNRT.

Di Indonesia sebenarnya dokumen-dokumen semacam Jakstranas Iptek, ARN dan buku putih ini masih menyisakan pekerjaan rumah. Diantaranya yang paling mencolok adalah bagaimana kita bisa mensinkronkan arah penelitian dan pengembangan, karena beberapa kementrian maupun departemen lain juga membuat kajian, kebijakan dan buku putih yang meskipun bertema sama tetapi sering isinya berbeda dan susah mencari titik temunya. Masalah kemudian adalah sosialisasi, mungkin perlu dipikirkan teknik sosialisasi yang lebih efektif secara kualitas dan kuantitas, karena seminar dan workshop sepertinya agak kurang efektif dalam proses diseminasi informasi dari kebijakan-kebijakan pemerintah.

Draft dokumen buku putih ini dapat didownload melalui situs http://www.ristek.go.id. Terutama bagi peneliti yang bergerak di bidang TIK, mudah-mudahan bisa menjadi bahan rujukan dalam penentuan tema dan prioritas penelitian. Saat ini KNRT masih membuka diri untuk menerima masukan berhubungan dengan buku putih ini, masukan dapat dilayangkan melalui halaman Kirim Masukan Buku Putih.

ttd-small.jpg

Related Articles

  1. TI untuk Perpustakaan
  2. Smart Teacher: Kompetisi untuk Para Guru
  3. Hermawan Kartajaya dan Marketing Open Source
  4. Apa Kompetensi dan Bidang Ilmu yang Saya Kuasai?
  5. Penjurian Tahap Awal Lomba Pembuatan Media Pembelajaran 2006
  6. Rethink: Pengembangan Konten IlmuKomputer.Com
  7. Launching IGOS Nusantara 2006
  8. Tips dan Trik Memilih Jurusan Komputer
  9. eLearning, Research dan Blogging di STIE Perbanas Surabaya
  10. Lomba Pembuatan Multimedia Pembelajaran 2007
  11. Penelitian Tugas Akhir Itu Mudah (1)
  12. Aspek dan Kriteria Penilaian Media Pembelajaran
  13. Literatur Penelitian dan Jurnal Ilmiah Gratis
  14. Sehari Keluyuran di PENS ITS
  15. Local Content dan Daya Saing Bangsa
  16. Seminar dan Workshop eLearning di Jogjakarta
  17. Penerapan e-Learning dengan Model Motivasi Komunitas
  18. Forum Diskusi dan Milis APPLI
  19. Raih Keunggulan Defacto dan Dejure !
  20. Masih Tentang MoU Microsoft (versi Depkominfo)

penerapan teknologi informasi dan Komunikasi

penerapan teknologi informasi dan komunikasi

Penulis: Himawan

Seringkali kita mendengar bahwa “Sekolah yang ngetren” dewasa ini adalah sekolah yang telah memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di dalam kegiatan pembelajaran. Itulah sebabnya berbagai pimpinan sekolah terutama di kota-kota besar berupaya untuk melengkapi sekolahnya dengan fasilitas TIK. Pemahaman yang demikian ini juga menghinggapi para guru sehingga “guru yang dianggap ngetren” dewasa ini adalah guru yang memanfaatkan TIK dalam membelajarkan para peserta didiknya. Itulah sebabnya, sebagian para guru berupaya untuk melengkapi dirinya dengan fasilitas TIK dan mempelajari cara-cara memanfaatkannya dalam kegiatan pembelajaran.

Ada juga pemikiran yang berkembang bahwa TIK identik dengan komputer dan internet. Oleh karena itu, apabila para guru ingin dikategorikan telah memanfaatkan TIK, maka guru yang bersangkutan harus dapat menggunakan komputer dan internet. Seiring dengan pemahaman yang demikian ini, tawaran untuk memiliki komputer laptop secara kredit berdatangan kepada para guru. Terlepas dari faktor yang menjadi pertimbangan, tawaran kredit pemilikan laptop ini pada umumnya mendapat respons positif dari para guru.

Adalah satu hal yang mulai banyak terlihat bahwa para guru menjinjing atau melengkapi dirinya dengan laptop saat menghadiri berbagai kegiatan atau pertemuan, apakah kegiatan pelatihan, lokakarya, atau seminar. Kebiasaan guru mencatat atau menulis di atas kertas hal-hal penting selama pertemuan telah mulai ditinggalkan secara berangsur-angsur. Para guru sudah mulai beralih ke laptop. Fungsi laptop bagi guru memang tidak hanya untuk sekedar catat-mencatat hal-hal penting selama mengikuti suatu pertemuan atau kegiatan tetapi laptop telah difungsikan untuk berbagai kepentingan lainnya.

Fungsi laptop telah dikembangkan penggunaannya oleh guru, yaitu antara lain adalah untuk (1) membuat Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) di mana guru tidak perlu menulis ulang beberapa hal yang bersifat umum atau yang sama karena didukung oleh fasilitas “copy and paste” yang tersedia di laptop; (2) mempelajari materi sajian yang tersedia atau dikemas di dalam bentuk digital; (3) membuat dan mempresentasikan materi sajian; (4) mengolah hasil-hasil penilaian prestasi belajar peserta didik; (5) mengakses berbagai dokumen/artikel/tulisan/informasi dari internet (internet browsing); (6) mengirim dan menerima informasi atau dokumen elektronik yang disajikan lewat jaringan elektronik; dan (7) mengolah dan menganalisis data/informasi.

Berbagai bentuk kecenderungan sikap guru mengenai pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Guru yang berinisiatif untuk merancang dan memanfaatkan TIK dalam kegiatan pembelajarannya.

Guru tipe pertama ini mempunyai inisiatif sendiri untuk merancang dan memanfaatkan TIK dalam kegiatan pembelajaran yang dikelolanya. Ada dorongan atau motivasi yang tumbuh dan berkembang di dalam diri guru sehingga dirinya tergugah atau terpanggil untuk mengenalkan sesuatu pembaharuan kepada peserta didiknya. Inisiatif untuk mencari informasi, mempelajari dan atau melakukan sendiri inovasi (bentuk inovasi yang dimaksudkan dalam hal ini adalah pemanfaatan TIK untuk kepentingan pembelajaran) datang sepenuhnya dari kesadaran diri guru sendiri.

Rasa keterpanggilan yang berkembang di dalam diri guru yang senantiasa mendorong untuk mencari informasi atau bahkan mempelajari berbagai inovasi atau kemajuan yang telah dikembangkan atau dikenalkan di tempat lain, baik secara kelembagaan maupun secara perseorangan. Kemudian, inovasi yang diketahui dan dipelajari guru ini dibawa ke dalam kelas untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pembelajaran peserta didiknya. Guru tipe yang demikian ini juga aktif untuk melakukan sendiri eksperimentasi termasuk pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajarannya.

Guru tipe pertama ini akan tetap memilliki komitmen yang tinggi untuk mengenalkan atau melakukan pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran sekalipun tidak ada dukungan dari pimpinan sekolah. Yang menjadi prinsip di dalam diri guru adalah bagaimana memberikan yang terbaik bagi kemajuan belajar para peserta didiknya sekalipun mungkin membutuhkan pengorbanan, baik dalam arti waktu, tenaga maupun finansial. Ada kepuasan tersendiri yang dinikmati guru manakala dirinya berhasil mengenalkan atau melakukan sesuatu pembaharuan bagi kepentingan peserta didiknya.

2. Guru yang Memanfaatkan TIK dalam Kegiatan Pembelajaran karena Diperintah

Pemanfaatan TIK untuk pembelajaran baru dilakukan guru apabila pimpinan sekolah menginstruksikannya. Manakala tidak ada instruksi dari pimpinan sekolah untuk memanfaatkan TIK dalam kegiatan pembelajaran, maka guru tipe kedua ini tidak akan mau repot-repot dengan TIK. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru cenderung hanya melanjutkan cara-cara yang selama ini telah dilakukannya. Tidak ada inisiatif yang berasal dari diri guru untuk mencoba melakukan pembaharuan termasuk pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran. Bahkan cara-cara mengelola kegiatan pembelajaran yang dilakukannya juga adalah meniru cara-cara yang telah pernah dilakukan oleh gurunya ketika dirinya masih berstatus sebagai peserta didik.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa guru ini adalah guru yang ”baru mau melakukan pembaharuan dalam kegiatan pembelajaran yang dikelolanya apabila ada instruksi atau perintah dari pimpinan sekolah”. Atau, guru tipe kedua ini adalah guru yang sekedar melaksanakan tugas pembaharuan (termasuk pemanfaatan TIK untuk pembelajaran) karena diinstruksikan oleh pimpinan sekolah. Kelemahan yang terjadi adalah kecenderungan ”kurang kepedulian” (tidak terlalu ”concern”) terhadap proses dan hasil kegiatan pembaruan. Kalau ada masalah yang terjadi dalam melaksanakan pembaharuan, maka guru tipe ini merasa bukan menjadi tanggungjawabnya karena tugasnya adalah ”sebatas melaksanakan instruksi/perintah Kepala Sekolah”.

3. Guru Memanfaatkan TIK dalam Kegiatan Pembelajaran berdasarkan Pamrih

Ada ungkapan yang mewabah akhir-akhir ini yang memperlihatkan bagaimana respon atau tanggapan seseorang terhadap suatu kegiatan yang ditugaskan kepada dirinya. Ungkapan tersebut biasanya diajukan dalam bentuk pertanyaan, yaitu: ”Apa manfaat yang akan saya peroleh kalau melaksanakan kegiatan yang ditugaskan?”. Analoginya di bidang pembelajaran adalah: ”Apa manfaat yang akan saya peroleh kalau melaksanakan kegiatan pembaharuan atau pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran?”. Kejelasan mengenai manfaat atau keuntungan yang akan diperoleh, akan mewarnai kecenderungan sikap.

Kalau tidak ada kejelasan tentang manfaat yang akan diperoleh, maka kecenderungan sikap yang diperlihatkan adalah menolak melaksanakan kegiatan yang ditugaskan. Sebaliknya, guru akan memperlihatkan sikap yang responsif/positif manakala jelas manfaat atau keuntungan yang akan diperoleh. Artinya, ada pamrih untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan suatu kegiatan pembaharuan termasuk kegiatan pemanfaatan TIK dalam pembelajaran. Apabila ternyata manfaat atau keuntungan yang diperoleh selama memanfaatkan TIK tidak lagi berlanjut, maka kegiatan guru memanfaatkan TIK dalam pembelajaran juga akan berhenti.

4. Guru Memanfaatkan TIK dalam Kegiatan Pembelajaran kalau Sudah Terbukti Manfaatnya

Untuk mau atau bersedia melakukan pembaharuan dalam kegiatan pembelajaran termasuk pemanfaatan TIK, guru tipe keempat ini mensyaratkan harus mengetahui terlebih dahulu bagaimana hasil atau bukti dari pelaksanaan pembaharuan atau penerapan TIK dalam pembelajaran yang telah dilakukan di tempat lain. Kalau belum ada bukti mengenai keberhasilan penerapan pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran di suatu lokasi, maka guru tipe keempat ini tidak akan bersedia (merasa ”reluctant”) untuk memanfaatkan TIK dalam kegiatan pembelajaran di sekolahnya. Apabila diminta untuk mencoba menerapkan pemanfaatan TIK, maka dia akan mengatakan ”Saya perlu bukti terlebih dahulu dari sekolah yang telah menerapkan pemanfaatan TIK dalam pembelajaran”.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa guru tipe keempat ini selalu menuntut adanya bukti terlebih dahulu tentang keberhasilan pemanfaatan TIK dalam pembelajaran. Sejauh belum ada informasi tentang keberhasilan pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran, maka kecenderungan sikap yang diperlihatkan adalah menolak melaksanakan pemanfaatan TIK bagi peserta didiknya. Guru tipe keempat ini juga tidak mempunyai keinginan untuk mau mencoba terlebih dahulu gagasan pemanfaatan TIK kepentingan pembelajaran bagi peserta didiknya. Di sisi lain, guru ini akan sangat peduli (concern) dan memperlihatkan komitmen yang tinggi untuk penerapannya apabila dia sudah benar-benar mengetahui tentang keberhasilan pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran.

5. Guru Memanfaatkan TIK dalam Kegiatan Pembelajaran karena Gengsi

Memang kadangkala ”gengsi” membuat seseorang terpaksa melakukan sesuatu sekalipun sesuatu itu bukan merupakan kebutuhan yang diperlukan. Demikian juga halnya dengan guru dewasa ini. Agar seorang guru tidak dikatakan ”gagap teknologi” (gatek), maka guru ”memaksakan dirinya” untuk ”berteknologi ria” sekalipun sebenarnya dirinya sendiri belum sepenuhnya memahami nilai manfaat dari penerapan teknologi atau bahkan mungkin secara obyektif pemanfaatan teknologi itu belum merupakan suatu kebutuhan yang mendesak bagi dirinya. Bahkan teknologi itu juga mungkin secara obyektif belum menjadi kebutuhan dalam kegiatan pembelajaran yang dikelolanya. Inilah yang disebut sebagai kecenderungan sikap untuk memperlihatkan ”gengsi” bahwa dirinya tidak lagi termasuk ”gatek” tetapi sudah masuk ke dalam kelompok ”guru yang ngetren”.

Demi ”gengsi”, berbagai kebutuhan obyektif lainnya mungkin menjadi tertunda pemenuhannya. Yang lebih disayangkan lagi adalah bahwa demi ”gengsi”, sang guru merelakan dirinya untuk meminjam uang atau membeli perangkat teknologi melalui cicilan kredit. Akibatnya, istilah ”gali lobang, tutup lobang” terpaksa dilakukan guru. Lebih disayangkan lagi, sang guru tidak mempunyai anggaran tertentu manakala perangkat teknologi yang telah dimilikinya itu mengalami kerusakan. Tidak tahu juga kemana harus dibawa perangkat teknologi yang rusak agar dapat diperbaiki. Dapat saja terjadi bahwa perangkat teknologi yang dibeli hanya dimanfaatkan beberapa kali dan bisa saja bukan untuk kepentingan yang memang sangat dibutuhkan. ”Gengsi” mendorong atau menggoda guru untuk kurang kritis menilai dirinya, kebutuhannya, dan kemampuannya dalam rangka pengembangan dirinya tetapi lebih cenderung pada daya tarik ”gengsi”.

Demikianlah setidak-tidaknya ada 4 (empat) kecenderungan sikap guru terhadap upaya pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran. Tulisan ini didasarkan atas pengamatan umum tentang kecenderungan sikap guru terhadap pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran. Tentunya diperlukan adanya tindak lanjut berupa hasil penelitian mengenai kecenderungan sikap guru terhadap upaya pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran.